Sesungguhnya manusia ‘jujur’ adalah manusia yang mau mengakui kelemahan dan kelebihannya. Jika hanya salah satu saja yang diakui oleh manusia maka ia telah membuat sia-sia dirinya sendiri. Manusia telah melupakan makanan lain untuk dirinya. Manusia telah menyibukkan diri dengan makanan dari alam dunia ini. Siang dan malam menyediakan makanan untuk tubuh. Sekarang renungkanlah ! tubuh ini adalah kudamu, dan dunia ini adalah pelananya, manusia adalah pengendara yang mengendalikan kuda dengan pelananya. Makanan kuda tidak sama dengan makanan pengendaranya. Seekor kuda mempertahankan dirinya menurut sifat alamnya sendiri. Jika manusia diliputi sifat kebinatangan dan kehewanan maka ia seperti pengendara yang tetap diatas pelana dengan kudanya. Tubuh telah menguasainya, manusia mentaati perintah tubuhnya dan menjadi tawanan tubuh itu sendiri. Maka seperti itulah orang terpelajar pada zaman ini dengan ajaib memahami ilmu pengetahuan. Mereka telah sempurna belajar memahami hal yang asing yang bukan merupakan perhatian mereka. Tetapi yang benar-benar penting dan terdekat dari semua hal adalah memahami ‘dirinya sendiri’. Betapa orang-orang yang tepelajar tidak mengetahui hal itu. Sesungguhnya manusia belum mencapai maksud dan tujuannya. Mencari dan terus mencari.
Seperti seseorang membuat sebuah puisi. Puisi hanyalah cabang tapi yang utama adalah maksud dari puisi itu. Seseorang tidak akan dapat menggubah suatu puisi apabila tidak ada maksud. Demikian juga dengan kata-kata bukanlah hal yang utama tapi maksud dari kata-kata itulah yang utama. Manusia melakukan sesuatu dengan benar dan wajar karena telah tahu maksudnya sehingga apa yang dikerjakan tidak akan sia-sia. Jika seseorang telah mengutamakan maksud maka tidak adalagi dua sisi yang berbeda. Karena dua sisi ada pada cabang tapi berasal dari akar yang tetap satu. Persis seperti angin yang berhembus kedalam rumah, angin akan mengangkat sudut karpet, menerbangkan debu atau menyebabkan cabang pepohonan bergoyang. Semua hal itu tampak berbeda; padahal dari titik pandang ‘maksud, prinsip dan realitas’ mereka sebenarnya satu. Karena gerakan mereka semua barasal dari satu angin yang berhembus.
Ada berbagai macam hal dalam diri manusia. Dia adalah seekor tikus, dan dia juga seekor burung. Kadang burung ingin mengangkat kurungannya tapi tikus menariknya kembali kebawah. Ada ribuan binatang lain dalam diri manusia, sampai dia maju pada titik tempat tikus melenyapkan ‘ketikusannya’ dan burung melenyapkan ‘keburungannya’. Semua akan disatukan, karena setiap pencarian sasaran tidak keatas ataupun kebawah. Ketika sasaran ditemukan tidak ada lagi atas dan bawah. Seperti seseorang kehilangan sesuatu, dia mencarinya kesegala arah, dan ketika benda itu dtemukan maka dia menghentikan pencariannya. Seperti itulah gambaran tentang ‘hari kebangkitan’ pada manusia. Nanti setiap orang akan melihat dengan satu mata, mendengar dengan satu telinga, berbicara dengan satu lidah dan menyerap dengan satu panca indera. Kebanyakan manusia semangkin tidak mempercayai akan adanya ‘hari kebangkitan’
Di dunia ini setiap orang disibukkan dengan sesuatu. Sebagian disibukkan dengan cinta, sebagian dengan harta benda, sebagian dengan tahkta dan sebagian dengan ilmu. Tetapi masing-masing orang ‘percaya’ pada kesejahteraan dan kebahagiaan yang akan dicapainya berdasarkan semua itu, demikian pula halnya tentang percaya pada ‘rahmat Tuhan’. Ketika manusia mulai mencari Tuhan, dia tidak menemukannya lalu menghentikan pencarian. Setelah beristirahat sebentar dia berkata “ rahmat Tuhan itu harus dicari, barangkali aku tidak cukup gigih, biar aku coba mencari kembali “. Ketika dia kembali mencari dan masih tidak menemukannya, tapi dia terus mencari hingga sang rahmat membuka diri. Ketika sampai pada tahap itulah manusia menyadari bahwa sebelumnya dia melakukan pencarian pada jalan yang salah. Meski demikian, Tuhan memiliki beberapa pelayan yang melihat dengan pandangan jernih bahkan sebelum tiba hari kebangkitan.
Manusia akan mencari jawaban pada saat ada pertanyaan. Tetapi alam bentuk dari wujud dunia ini telah menghalangi manusia akan hakikat dari dirinya sendiri. Awak, otak dan watak dikatakan cukup bagi dirinya sebagai modal untuk berjalan dimuka bumi. Padahal itupun hanya bentuk dari yang tersembunyi. Setiap yang berbentuk pasti akan musnah. Renungkanlah hal ini dari dari realitas yang ada disekeliling kita! Tanpa harus perlu diterangkan dengan ilmiah atau alamiah setiap sesuatu yang mempunyai bentuk pasti akan musnah. Tetapi manusia tidak melihat sesuatu yang didalam dirinya ada ‘yang lain’ yaitu ‘jiwa dan ruh’ nya. Di dalam dirinya ada ‘diri esensi’ dibalik ‘diri substansi;. Jika manusia tidak mencari esensi maka dia akan tetap sebagai substansi dan dia bukan apa-apa.
Sesungguhnya manusia adalah mahluk yang mulia disisi Tuhan karena akalnya. Itulah yang membedakan mahluk manusia dengan mahluk ciptaan lainnya. ‘Akal intelektual’ adalah jiwa dan ‘akal universal’ adalah ruh. Jika akal berjuang dengan seluruh kemampuannya, namun tidak mampu memahami sesuatu, mengapa dia harus menghentikan usahanya ?. Apabila akal menghentikan upaya karena tidak mencapai pemahaman, maka dia bukanlah akal. Karena akal selalu berusaha siang dan malam, tanpa istirahat menyibukkan dirinya dengan ‘pikiran’ untuk memahami sang Pencipta. Bahkan sekalipun ‘Dia’ mustahil untuk dipahami dan dibayangkan.
Akal itu diibaratkan seperti binatang ‘laron’ dan kekasih Ilahinya adalah lilin. Ketika laron menerbangkan dirinya menuju lilin, tak dapat dielakkan lagi dia akan terbakar dan hancur. Laron tidak akan mampu menahan nyala lilin, tapi dia tidak perduli. Laron rela untuk menderita terbakar dengan seluruh rasa sakit yang dia rasakan. Binatang apapun yang tidak mampu menahan nyala lilin dan menerbangkan dirinya kedalam nyala itu adalah ‘laron’, dan lilin, tempat laron melemparkan dirinya padanya, tetapi tidak mampu membakar laron, ia bukanlah lilin.
Maka, Manusia yang bertahan dalam ketidaktahuannya tentang Tuhan dan tidak berusaha dengan segala usahanya untuk memahami Tuhan maka ia bukanlah manusia. Tuhan yang dapat dipahami manusia bukanlah Tuhan. Manusia sejati tidak akan pernah berhenti berusaha. Dia menunggu tiada henti disekitar ‘cahaya’ Tuhan yang mengagumkan. ‘Tuhan’ adalah lilin yang ‘membakar’ manusia dan terus menariknya hingga dekat. Tapi kedekatan itu tidak dapat dipahami oleh akal intelektual.
Wahai manusia ! kalian dengarkah seruan alam ini ? pada saat manusia terlena dengan segala yang diperbuat maka semesta alam mulai dari bumi, air dan gunung memberi kasih sayangnya pada manusia dengan ‘rasa ingat’. Pada saat terjadi bencana semua orang berteriak memanggil Tuhan. Dari mana bencana itu datang ?. mengapa itu disebut bencana ?. berkacalah pada diri ini, mengapa ini semua terjadi. Jangan menyalahkan siapapun karena awalnya manusia sudah berjanji menanggung amanah bagi surga, langit dan bumi. Sebaliknya pada saat manusia sudah menggenggam janji itu, maka surga, langit dan bumi tidak akan mau menanggung kesalahan satu orang manusiapun atas perbuatannya. Surga adalah kebaikan, bumi adalah kasih sayang dan gunung adalah tujuan pendakian. Semua adalah simbol dalam jalan ‘kebenaran’.
“Dan tiadalah kehidupan dunia melainkan senda gurau dan main-main,. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” [QS29:64].
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang [kejadian] diri mereka?. Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan [tujuan] yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” [QS30:8].
Tidakkah manusia percaya akan janjiNya ?. Tidakkah manusia bertanya yang diciptakan pasti ada yang menciptakan ?. Manusia mencipta banyak hal, lalu siapa yang menciptakan manusia ?. Apakah semua ada dengan sendirinya?. Betapa manusia menjadi penentang yang nyata padahal awalnya hanya dari tanah dan air mani yang hina. Manusia tidak akan merasa puas dengan apa yang telah didapatkannya. Mesti disadari bahwa setiap orang, dimanapun, tidak dapat dipisahkan dari kebutuhannya.. Kebutuhan lebih dekat pada diri manusia dari pada ayah dan ibunya. Manusia tidak dapat mengekang dirinya sendiri karena keinginannya mencari kebebasan. Adalah perbuatan yang bodoh jika manusia mencari kebebasan tapi mendekati perbudakan.
~Mama Ade~